Wednesday, April 19, 2017

MAKROZOOBENTHOS



MAKROZOOBENTHOS

LAPORAN PRAKTIKUM


Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ekologi
Yang Dibina oleh Dr. Hadi Suwono, M.Si dan Dr. Vivi Novianti, S.Si, M.Si

Oleh
Kelompok 4
1.      Aisyatur Robia                      150341600791
2.      Lely Luckitasari                    150341600339
3.      M.Hisyam Baidlowi              150341603911
4.      Najatul Ubadati                     150341603634
5.      Nor Azizah                            150341600287




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2017


MAKROZOOBENTHOS
BAB  I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ekosistem air tawar merupakan ekosistem air yang relatif kecil dimuka bumi jika dibandingkan dengan ekosistem darat dan lautan. Ekosistem air tawar memiliki kepentingan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia karena ekosistem air tawar merupakan sumber paling praktis dan murah untuk memenuhi kepentingan domestik dan industri (Odum, 1993). Ekosistem air tawar secara umum dapat dibagi 2 yaitu perairan lentik (perairan tenang) misalnya danau, rawa, waduk dan sebagainya dan perairan lotik (perairan berarus) misalnya sungai (Sinaga, 2009). Ekosistem air tawar yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia adalah sungai.
Menurut Suwondo, dkk. (2004), sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatic yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air  bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan cara terbentuknya, sungai dikelompokkan menjadi sungai alami dan sungai buatan. Sungai alami terbentuk oleh sumber air tanah/air permukaan tanah yang mengalir secara terus menerus sedangkan sungai buatan terbentuk karena adanya kepentingan manusia, dengan kata lain sungai buatan adalah sungai yang dibuat oleh manusia. Salah satu contoh sungai buatan adalah sungai kebun Biologi FMIPA UM.
Bentos adalah hewan yang hidup di dasar perairan. Bentos adalah hewan yang paling menderita jika terjadi pencemaran di sebuah perairan, hal ini dikarenakan bentos relatif tidak mudah untuk bermigrasi (Sinaga, 2009). Bentos adalah hewan-hewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis nutrien yang terbatas sekaligus bersifat toleran (Isnaeni, 2002). Bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro (makrozoobentos).
Makrozoobentos merupakan kelompok hewan yang memiliki peranan penting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan (Darojah, 2005). Makrozoobentos dikatakan sebagai organisme kunci dalam jaring makanan di ekosistem perairan karena makrozoobentos menyediakan “bahan makanan” bagi organisme lain. Makrozoobentos berperan merombak daun, ranting, bunga, kulit batang, dan akar tanaman (sebagai dekomposer). Makrozoobentos di suatu perairan dapat dijadikan indikator kualitas dari lingkungan perairan karena dapat mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan termasuk tingkat pencemaran lingkungan dari waktu ke waktu.

I.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat diidentifikasi dalam praktikum ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan
b. Mengetahui organisme indikator perairan tercemar (makrozoobentos)

I.3 Tujuan Praktikum
Tujuan yang ingin dicapai dalam praktikum ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan
b. Mengetahui organisme indikator perairan tercemar (makrozoobentos).

I.4 Manfaat Praktikum
Praktikum ini bermanfaat dalam mengetahui tingkat pencemaran sungai Kebun Biologi FMIPA UM dan organisme-organisme indikator pada sungai (makrozoobentos).



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

II.1 Definisi Makrozoobenthos
Secara etimologi makrozoobentos bebrasal dari dua kata yaitu makro dan zoobentos yang berarti hewan dasar yang berukuran besar (Barnes, 1994). Kelompok hewan-hewan tersebut antara lain asteroid (bintang laut), echinoidea (bulu babi), holthutroidea (teripang), dan gastropoda (keong).Bentos adalah organisasi flora dan fauna atau jasad nabati yang hidup mendiami dasar suatu perairan. Fauna benntos adalah organisasi yang hidup meletakkan diri pada suatu perairan (Odum, 1996). Menurut Nybakken (1992), fauna bentos di bagi menjadi dua bagian, yaitu epifauna dan infauna. Epifauna adalah organisme bentik yang hidup pada atau bergerak melalui permukaan substrat atau organism bentik yang hidup pada permukaan dasar laut. Sedangkan infauna adalah organism bentik yang mempunyai kebiasaan hidup membenamkan dirinya ke dalam dasar peraiaran, menggali saluran atau membuat lubang di dasar perairan.Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakannya, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap ( bentos sesile ), dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah ( motile ). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi perairan ( Setyobudiandi, 1997 ).
            Distribusi bentos dalam perairan alam mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif, keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona litoral mendukung banyaknya jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar dari pada zona sublitoral dan profundal. Populasi litoral dan sub litoral, khusunya bentuk mikroskopis. Terdapat banyak serangga dan moluska, dua kelompok ini biasannya sebanyak 70 % atau lebih dari jumlah komponen spesies yang ada. Dengan peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik biasanya berkurang.
            Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
            Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi,Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
            Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993)
            Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
            Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.

II.2 Faktor Yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979). Secara skematis, Hawkes (1978) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan sembilan diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan.
 Faktor penentu kualitas air
 Faktor bukan penentu kualitas air
 Faktor yang tidak umum
 Faktor langsung
 Faktor interaksi
            Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan organisme perairan.
            Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan zoobentos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja. Berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO), Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas perairan atas empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 – 6,5 mg/l), tercemar sedang (2,0 – 4,4 mg/l) dan tercemar berat (<1),>2,0).
            Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).

II.3 Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan
            Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
            Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
            Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).
            Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.








 BAB III
METODOLOGI
3.1. Tempat Dan Waktu
            Praktikum ini dilaksanakan di Sungai Kebun Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang pada tanggal 16 Februari 2017.

3.2. Alat dan Bahan
            Alat dan bahan yang di gunakan dalam rencana penelitian ini dapat di lihat pada table berikut.

Tabel.1 Alat yang di gunakan dalam penelitian
NO
ALAT
KEGUNAAN
1
Turbidimeter
Alat untuk mengukur suhu, pH, salinitas
2
DO meter
Untuk mengukur oksigen terlarut
3
Nampan
Untuk meletakan sampel hasil saringan
4
Tabel skoring
Untuk acuan sample
5
Karet Gelang
Untuk mengikat plastik
6
Alat tulis menulis
Mencatat hasil data ang di peroleh
7
Plastic
Wadah pengambilan sampel
8
Cawan petri
Tempat wadah sampel yang akan diamati
9
Pinset
Mengambil sample
10
Jaring Surber
Menangkap benthos



3.3 Prosedur Praktikum
A. Teknik pengambilan data
            Teknik yang di gunakan dalam pengambilan data ini adalah menggunakan metode langsung ke lapangan. pengambilan data terdiri dari 3 stasiun yaitu Sungai Kebun Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.
            Pengambilan jenis.setiap jenis makrozoobentos yang terliput di dalam kuadrat pengambilan dan di masukan kedalam kantong plastic atau kantong sampel yang telah di beri label. setelah itu jenis- jenis makrozoobentos yang dapat di bersihkan kemudian di identitikasi setiap individu.

B. Pengukuran Parameter Lingkungan
            Pengukuran parameter lingkungan di lakukan pada saat pengambilan sampel yaitu berupa: suhu perairan, salinitas perariran, PH air PH tanah.
1.    Suhu Perairan
2.    Suhu
3.    Turbiditas
4.    pH Air
5.    Kadar O2




BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel Data Pengamatan Keanekaragaman Makrozoobentos Sungai Kebun Biologi FMIPA UM
A.    Stasiun 1
No.
Spesies
Jumlah
Pi
inPi
-(PilnPi)
1.
Larva merutu biasa
114
0.912
-0.092
0.084
2.
Cacing bersegmen
10
0.080
-2.526
0.202
3.
Siput berpintu
1
0.008
-4.828
0.039

Jumlah
125
0.1
-7.446
0.325
Pengukuran faktor abiotik pada perairan stasiun 1
Suhu                = 250C
pH                   = 7,55
O2 terlarut       = 4,2 %
Salinitas           = 0%

B.     Stasiun 2
Faktor abiotik di Stasiun 2 :
pH                   : 7,63
Suhu                : 250C
Turbiditas        : 4 angle
Kadar O2         : 4,5%
C.    Stasiun 3
No.
Nama Taksa
∑ / Stasiun
1
2
3
1.
Larva mrutu biasa


271
2.
Larva kumbang


3
3.
Larva nyamuk


124

Factor Abiotik Stasiun 3
-            Kelarutan O2 dalam air = 2,1 mg/l
-            pH = 7,56
-            Suhu = 25,9 ᵒC



BAB V
ANALISIS DATA

A.    Stasiun 1 (Kelompok 2)
No.
Spesies
Jumlah
Pi
inPi
-(PilnPi)
1.
Larva merutu biasa
114
0.912
-0.092
0.084
2.
Cacing bersegmen
10
0.080
-2.526
0.202
3.
Siput berpintu
1
0.008
-4.828
0.039

Jumlah
125
0.1
-7.446
0.325
S= Jumlah spesies= 3
Keberagaman (H’)

Kemerataan (E)

Kekayaan (R)
Dari hasil pengamatan makrozoobentos yang dilakukan pada stasiun 1 diperoleh sebanyak 3 macam spesies antara lain larva merutu biasa sebesar 114 speseies, cacing bersegmen sebanyak 10 spesies,  dan siput berpintu hanya 1 spesies. Kemudian dari hasil tersebut diperoleh perhitungan yaitu hasil indeks keberagaman sebesar 0.325, indeks kemerataan sebesar 0.296 dan indeks kekayaan sebesar 0.414. Pengukuran faktor abiotic lingkungan di stasiun 1 baik kimia maupun fisika diperoleh hasil, suhu sebesar 25,6°C, derajat keasaman (pH) sebesar 7.55, konsentrasi O2 terlarut sebesar 4.2% dan tingkat salinitas 0%.

B.     Stasiun 2 (Kelompok 4)
No.
Spesies
Pi
Ln Pi
-Pi.ln Pi
1
Kepiting Sungai
7
0,016
-4,135
0,066
2
Larva Mrutu biasa
417
0,974
-0,026
0,025
3
Siput Kolam
1
0,002
-6,215
0,012
4
Cacing
3
0,007
-4,962
0,035

Jumlah
428


0,138

H’ = (∑ Pi. ln Pi)
     = 0,138
E=
R== 0,495
Pada stasiun 2 sungai kebun Biologi FMIPA UM diperoleh hasil pegambilan makrozoobentos berupa kepiting sungai sejumlah 4 pada ulangan kiri dan 3 pada ulangan kanan, larva mrutu biasa sejumlah 127 pada ulangan kiri, 138 pada ulangan tengah dan 152 pada ulangan kanan, siput kolam (siput berpintu) sejumlah 1 pada ulangan kanan, dan cacing sejumlah satu pada ulangan tengah dan 2 pada ulangan kanan.
Faktor abiotik stasiun 2 sungai kebun Biologi FMIPA UM diukur dengan pH meter, Dometer dan turbidimeter diperoleh hasil pH sebesar 7,63, suhu sebesar 250C, turbiditas sebesar 4 angle, dan kadar O2  sebesar 4,5%. Berdasarkan hasil pengukuran faktor abiotik, sungai ini tergolong kedalam sungai kotor atau tercemar.
Keberadaan 4 makrozoobenthos diatas dipengaruhi oleh beberapa factor abiotik. Keadaan factor abiotik di stasiun 2 yaitu kadar pH nya 7,63, suhu 25ο, turbiditas 4 angle dan kadar O2 yang terlarut dalam sungai 4,5 %.

C.    Stasiun 3
No.
Spesies
Pi
lnPi
-PilnPi
1.
Larva mutu biasa
271
0,544
-0,609
0,331
2.
Larva kumbang
3
0,006
-5,116
0,031
3.
Larva nyamuk
124
0,249
-1,390
0,346
Jumlah
498


0,708
Ket:     pi         = jumlah individu spesies per jumlah total individu spesies
            s           = jumlah spesies yang ditemukan dalam satu stasiun
            x          = jumah total individu spesies
            N         = jumah total individu spesies (x)

H’        = - pi ln pi
            = - 1 (-0,708)
            = 0,708
E          = H’/ln s
            = 0,708/ln 3
            = 0,708/1,099
            = 0,644
R         = s-1/ln N
            =3-1/ln 498
            = 2/6,211
            = 0,322
Analisis data pada praktikum ini dilakukan dengan perhitungan tingkat keragaman, kemerataan dan kekayaan spesies yang terdapat dalam suatu perairan, dalam hal ini adalah perairan sungai di kebun Biologi FMIPA UM. Makrozoobentos dalam tabel ditemukan tiap stasiun pengambilan sampel. Pada masing-masing sampel akan dihitung keragaman, kemerataan dan kekayaan spesiesnya. Keragaman (H’) dihitung menggunakan rumus H’ = - y ln y; kemerataan (E) digunakan rumus E = H’/ln s; dan kekayaan (R) digunakan rumus R= s-1/ln N.



BAB VI
PEMBAHASAN

Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Menurut Susanto (2000) ekosistem adalah suatu unit lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik antara sesama makhluk hidup dan antara makhluk hidup dengan komponen lingkungan abiotik. Pada praktikum ini ekosistem yang menjadi objek adalah sungai Kebun Biologi FMIPA UM. Pada ekosistem ini diamati faktor biotik dan faktor abiotik yang menyusunnya serta keanekaragaman bentos pada sungai.
Bentos sering diisebut sebagai organisme-organisme yang hidup pada dasar perairan, Menurut Odum (1993) bentos adalah organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan. Berdasarkan ukurannya, hewan bentos yang tersaring dengan saringan bentos berukuran 0,5 mm disebut makrobentos (Setyobudiandi, 1997). Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder, detritivor, scavenger dan parasit. Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor atau sebagai pemakan plankton.
Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2.
a. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.
b. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi umumnya tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya moluska-bivalva, beberapa jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.
A.    Stasiun 1
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos (Pradinda, 2008).
Temperatur Air
Berdasarkan hasil pengamatan pada stasiun 1 diperoleh suhu perairan sebesar 25.6 , suhu tersebut tergolong suhu normal suatu perairan, dimana masih sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan dari makrozoobentos. Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10 (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Barus, 2004).
Temperatur air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi makrozoobentos. Pada umumnya temperatur di atas dapat menekan populasi makroinvertebrata air (Odum, 1971). Welch (1980) menyatakan bahwa hewan makrozoobentos pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus hidup sehingga lebih cepat dewasa. James dan Evison (1979) menyatakan bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena rendahnya kadar oksigen terlarut.
DO (Disolved Oxygen)
Berdasarkan hasil pengamatan pada stasiun 1 diperoleh kadar oksigen terlarut dalam air sebesar 4.2%. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0 sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Sehigga dapat disimpulkan bahwa kadar okigen pada stasiun 1 kurang baik, yang menyebabkan banyaknya jumlah makrozoobentos yang hidup dengan kadar oksigen rendah.
pH (Derajat Keasaman)
Hasil pengukuran derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter dan didapatkan hasil sebesar 7.55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air pada stasiun 1 bersifat basa lemah karena pH lebih dari 7. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952).Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Hasil pengukuran pH air stasiun 1 sebesar 7,55 menunjukan kondisi perairan yang masih ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan dari makrozoobentos(Barus, 2004).
Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. (Odum, 1971). Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampumendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰. Sedangkan pada stsiun 3 diperoleh data salinitas perairan tersebut sebesar 0%, yang mengindikasikan kadar garam pada perairan tersebut sangat rendah.
Indek keanekaragaman
Indek keanekaragaman jenismakrozoobentos pada perairan stasiun 1 adalah 0,325. Menurut Shannon Weiner dalam Odum (1971) jika H’ < 1 = indeks keanekaragamannya rendah, artinya keragaman yang rendah dengan sebaran individu yang tidak merata, Berdasarkan data diatas menyatakan bahwa indeks keanekaragaman jenis Benthos sebarannya tidak merata(keragamannya rendah) berarti lingkungan perairan tersebut telah mengalami gangguan(tekanan)yang cukup besar,atau struktur komunitas organismenya tidak terlalu baik.Dari perhitungan di atas terlihat bahwa indeks keanekaragaman jenis ini memperhitungkan banyaknya jenis dan banyaknya individu yang mengindikasikan penyebaran dari individu pada masing-masing jenis. Semakin kaya jenis makrozoobentos yang ditemukan, maka perairannya semakin baik. Akan tetapi sebaran individu di stasiun 1 tidak merata,keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak baik seperti kdar oksigen yang rendah membuat kondisi keragaman jenis rendah,dipengaruhi adanya pergantian musim dapat mempengaruhi keragaman jenis dan kondisi makanan juga sangat berperan berpengaruhnya keragaman jenis benthos.
Indeks Kemerataan (E)
Dari perhitungan yang ada diperoleh nilai  indeks  kemerataan  pada stasiun 1 sebesar 0. 296. Nilai  indeks  kemerataan  jenis  dapat  menggambarkan  kestabilan suatu  komunitas.  Nilai indeks kemerataan  (E)  berkisar  antara  0-1. Semakin  kecil  nilai  E  atau  mendekati  nol,  maka  semakin  tidak  merata penyebaran  organismee  dalam  komunitas  tersebut  yang  didominansi  oleh jenis  tertentu  dan  sebaliknya  semakin  besar  nilai  E  atau  mendekati  satu, maka  organisme  dalam  komunitas  akan  menyebar  secara  merata  (Krebs, 1989). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks kemerataan di stasiun 1 berada pada kondisi tertekan atau tidak seimbang, pernyataan tersebut didasarkanpada tabel kondisi suatu komunitas perairan berdasarkan nilai  indeks kemerataan menurut Krebs (1989) bahwa nilai indeks kemerataan sebesar 0,00 < E   0,50 berada dalam kondisi tertekan atau tidak stabil dimana terjadi persaingan baik pada tempat tinggal maupun makanan.
Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan yang diperoleh pada stasiun 1 sebesar . Dimana Indeks kekayaan (R), yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas.  Sejumlah  indeks diusulkan untuk menghitung kekayaan spesies  yang tergantung pada ukuran sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan jumlah total individu yang diobservasi (n)yang meningkat  dengan meningkatnya ukuran sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekayaan spesies di komunitas pada stasiun 1 sangat rendah (Odum, 1971).


B.     Stasiun 2
Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatic yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan disekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosisten tersebut (Suwondo,2004).
Ekosistem sungai mempunyai sifat aliran yang unidirectional yaitu mengalir satu arah dari hulu menuju hilir. Berdasar sifat fisikanya biota yang dominan hidup di ekosistem sungai adalah organisme heterotrof, artinya tidak dapat membuat makanan sendiri, yaitu makroinvertebrata bentik. Fauna tersebut umumnya hidup di dasar perairan. Setelah itu ikan, alga, bentik dan macrofita. Tentu saja selain biota tersebut masih ditemukan flora fauna yang ditemukan di ekosistem sungai, misalnya makrofita (Sudarjanti, dan Wijarni, 2006).
Diantara benthos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobenthos (Rosenberg, 1993).
Pada praktikum bioindikator perairan, data yang kami dapatkan yaitu beberapa makroozobenthos pada 3 stasiun. Pada stasiun 2, praktikan menemukan makroozobenthos kepiting sungai, larva mrutu biasa, siput kolam dan cacing. Kepiting sungai ditemukan berjumlah 7 ekor, larva mrutu biasa 417 ekor, siput kolam 1 ekor dan cacing 3 ekor. Dan setelah dilakukan perhitungan di dapat nilai H’ sebesar 0,138, E nya 0,01, dan nilai R sebesar 0,495.
Keanekaragaman makroozobenthos dapat dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dengan parameter kekayaan jenis dan proporsi kelimpahan masing-masing jenis di suatu habitat. Indeks ini didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu species apa yang dipilih secara random dari koleksi S species dan individual N akan dimiliki. Rata-rata ini naik dengan naiknya jumlah species dan distribusi individu antara species-species menjadisama/merata.
Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon yaitu:
  1. H’=0 jika dan hanya jika ada satu species dalam sampel.
  2. H’ adalah maksimum hanya ketika semua species S diwakili oleh jumlahindividu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secarasempurna.
Setelah dilakukan perhitungan di dapat nilai H’ sebesar 0,138, E nya 0,01, dan nilai R sebesar 0,495.  Nilai H’ menunjukkan bahwa species yang ditemukan pada sampel air lebih dari 1. Nilai H’ menunjukkan kestabilan pada stasiun 2 masih belum stabil karena distribusi nya belum sempurna, larva mrutu sangat mendominasi stasiun 2. Kestabilan suatu jenis juga dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin tinggi nilai H’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin stabil. Sebaliknya semakin rendah nilai H’, maka tingkat kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin rendah (Odum, 1996).
Indeks keanekaragaman jenis (H’) menggambarkan tingkat kestabilan suatu komunitas tegakan. Semakin tinggi nilai H’, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat kestabilannya. Suatu komunitas yang memiliki nilai H’ < 1 dikatakan komunitas kurang stabil, jika nilai H’ antara 1-2 dikatakan komunitas stabil, dan jika nilai H’ > 2 dikatakan komunitas sangat stabil (Kent & Paddy, 1992).
Suatu jenis yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk mempertahankan kelestarian jenisnya. Untuk menilai kemantapan atau kestabilan jenis dalam suatu komunitas dapat digunakan nilai indeks kemerataan jenis (e’). Nilai e’ yang dihasilkan pada stasiun 2 yaitu 0,01.  Nilai ini mengindikasilan bahwa kemeratan yang terjadi pada stasiun 2 tergolong rendah. Hal ini selaras dengan pernyataan Magurran (1988) bahwa Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ > 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Semakin tinggi nilai e’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin stabil dan semakin rendah nilai e’, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin rendah (Soerianegara & Indrawan, 1976; Odum, 1993).
      Pada praktikum di stasiun 2 juga menghasilkan nilai R sebesar 0,495. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis yang terdapat pada stasiun 2 tergolong rendah. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika > 5.0.
Keberadaan makrozoobenthos yang ditemukan diatas dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik. Keadaan faktor abiotik di stasiun 2 yaitu kadar pH nya 7,63, suhu 25ο, turbiditas 4 angle dan kadar O2 yang terlarut dalam sungai 4,5 %. pH yang dihasilkan menunjukkan keadaan air masih tergolong normal sehingga memungkinkan makrozobenthos untuk hidup. Menurut Modereth et al dalam Effendi ( 2003), bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, pada pH < 5 alkalinitas dapat mencapai “ nol “. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas terlarut yang bersifat asam ( pH rendah ) bersifat korosif. Selain itu semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dengan amonia. Semakin bergeser kearah amonia berarti kenaikan pH akan meningkatkan konsentrasi amonia yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air (Effendi, 2003).
Keadaan suhu di perairan berkaitan dengan kadar O2 yang terlarut di dalamnya.  Hubungan antar kadar oksigen terlarut dan suhu menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang (Effendi, 2003 ). Sedangkan hasil turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan air. Padatan yang tersuspensi dalam air berkolerasi positif dengan kekeruhan semakin tinggi. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan misalnya air memiliki nilai kepadatan terlalu tinggi, tapi tidak berarti memiliki kekeruhan yang tinggi ( Effendi, 2003).

C.    Stasiun 3
Praktikum kali ini mengenai makrozoobentos, dilakukan di Sungai Kebun Biologi bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan faktor pembatas bentos berdasarkan keanekaragaman, kondisi, dan parameter lingkungan fisika dan kimia di Sungai Kebun Biologi. Bentos merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan Hills, 1979).Faktor fisik berupa temperatur, kecerahan, kekeruhan dan konduktivitas air. Faktor kimia meliputi Derajat Keasaman (pH) dalam air, faktor fisik dan kimia tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi hasil penelitian keberadaan bentos di perairan Sungai Kebun Biologi.
Hasil pengukuran faktor kimia pada stasiun 3 yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter dan didapatkan hasil sebesar 7,56. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air Sungai Kebun Biologi bersifat netral. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. ).Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952)
Pengamatan selanjutnya yaitu pada faktor fisik perairan Sungai Kebun Biologi, yang pertama adalah temperatur air. Hasil pengukuran temperatur air dilakukan dengan menggunakan pH meter didapatkan hasil 25,9 °C. Kondisi temperatur air Sungai Kebun Biologi menunjukkan kisaran suhu yang normal.Kelarutan oksigen dalam air diukur menggunakan DO meter dan menunjukkan angka 2,1 mg/l. Tinggi rendahnya nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air termasuk bentos. Tingginya nilai temperatur dapat mempengaruhi jumlah, jenis, dan persebaran bentos dalam suatu ekosistem.Peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2004).
Sampel diambil menggunakan jaring surber, kemudian diidentifikasi di ruang ekologi gedung O5 Biologi. Berdasarkan hasil penelitian di stasiun 3, ditemukan hasil 3 jenis bentos antara lain larva mrutu biasa, larva kumbang, dan larva nyamuk. Perhitungan menggunakan berbagai indeks keanekaragaman dan kemerataan didapatkan hasil sebagai berikut. Indeks keanekaragaman (H) menunjukkan angka 0,708. Indeks kekayaan (R) menunjukkan angka 0,644. Indeks kelimpahan menunjukkan angka 0,322. Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat diketahui bahwa kualitas perairan Sungai Kebun Biologi tergolong buruk (0,81-1,60). Terbukti dengan ditemukannya banyak sampah dan kotoran pada saat pengamatan. Sampah yang terbawa arus sungai dapat menyebabkan kekeruhan sungai meningkat dan akan mengganggu kehidupan organisme bentos yang ada. Selain sampah, juga ditemukan batuan yang berlumut sehingga membuat sungai semakin tercemar. 



BAB VII
PENUTUP
VII.1 Simpulan
1.      Faktor yang mempengaruhi kelimpahan bentos di suatu perairan  adalah suhu, pH, dan kadar oksigen terlarut.
2.       Jenis bentos yang di temukan di setiap titik pengamatan di sungai Kebun Biologi adalah jenis larva mrutu biasa, larva kumbang, siput berpintu, cacing bersegmen, kepiting sungai, cacing dan larva nyamuk.
3.      Kualitas air  di perairan sungai Kebun Biologi termasuk tercemar dalam kategori kotor.

VII.2 Saran
Untuk kedepanya dapat dilakukan penelitian ulang mengenai makrozoobenthos di aliran sungai Kebun Biologi yang dapat digunakan untuk restorasi dan perbaikan kualitas sungai.



DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan Perlakuan pupuk. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan Jakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound  Fourth Printing. Alabama: Auburn University Agricultural Experiment Station.
Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Semarang.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Dayadan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanusius.
Evans S M and Hutabarat S. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Evison L and James A . 1979. Biological Indications of Water Quality. New York: John Wiley &Sons Chichester,.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanusius.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan.Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
          Biodiversitas, (7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Isnaeni, W. 2002. Fisiologi Hewan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Krebs, C.J. 1989. Ecologycal Metodology. Columbia: University of British.
Odum, E.P. Dasar-dasar Ekologi. Dialihbahasakan oleh Tjahjono Samingan 1993. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Pradinda, A. 2008. Kajian Kualitas Perairan Menggunakan Bioindikator Makrozoobentos di Eustaria Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian Propinsi Banten. Jakarta: Trysakti University.
Pratiwi, N, Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R. Ubaidillah, & W. A. Noerdjito. 2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Setyobudiandi, I. 1997 . Makrozoobentos. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sinaga, Tiorinse. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir.
Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Suwondo, Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan Sungai Senapelan, Sago dan Sail di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator Plankton dan Bentos. Jurnal Biogenesis. 1(1):15-20
Welch, P. S. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York.


LAMPIRAN
  

  

1 comment: