MAKROZOOBENTHOS
LAPORAN
PRAKTIKUM
Dibuat untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Ekologi
Yang Dibina oleh Dr. Hadi
Suwono, M.Si dan Dr. Vivi Novianti, S.Si, M.Si
Oleh
Kelompok 4
1.
Aisyatur Robia 150341600791
2.
Lely Luckitasari 150341600339
3.
M.Hisyam Baidlowi 150341603911
4.
Najatul Ubadati 150341603634
5.
Nor Azizah 150341600287

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN
BIOLOGI
Februari 2017
MAKROZOOBENTHOS
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ekosistem air tawar
merupakan ekosistem air yang relatif kecil dimuka bumi jika dibandingkan dengan
ekosistem darat dan lautan. Ekosistem air tawar memiliki kepentingan yang
sangat berarti dalam kehidupan manusia karena ekosistem air tawar merupakan
sumber paling praktis dan murah untuk memenuhi kepentingan domestik dan
industri (Odum, 1993). Ekosistem
air tawar secara umum dapat dibagi 2 yaitu perairan lentik (perairan tenang)
misalnya danau, rawa, waduk dan sebagainya dan perairan lotik (perairan
berarus) misalnya sungai (Sinaga,
2009). Ekosistem air tawar yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia
adalah sungai.
Menurut Suwondo, dkk.
(2004), sungai
merupakan suatu bentuk ekositem aquatic yang mempunyai peran penting dalam daur
hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan cara
terbentuknya, sungai dikelompokkan menjadi sungai alami dan sungai buatan.
Sungai alami terbentuk oleh sumber air tanah/air permukaan tanah yang mengalir
secara terus menerus sedangkan sungai buatan terbentuk karena adanya
kepentingan manusia, dengan kata lain sungai buatan adalah sungai yang dibuat
oleh manusia. Salah satu contoh sungai
buatan adalah sungai kebun Biologi FMIPA UM.
Bentos adalah hewan
yang hidup di dasar perairan. Bentos adalah hewan yang paling menderita jika
terjadi pencemaran di sebuah perairan, hal ini dikarenakan bentos relatif tidak
mudah untuk bermigrasi (Sinaga, 2009). Bentos adalah hewan-hewan yang mampu
hidup dengan jumlah dan jenis nutrien yang terbatas sekaligus bersifat toleran (Isnaeni, 2002). Bentos
yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan
perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro
(makrozoobentos).
Makrozoobentos
merupakan kelompok hewan yang memiliki peranan penting dalam ekosistem perairan
sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan
(Darojah, 2005). Makrozoobentos dikatakan sebagai organisme kunci dalam jaring
makanan di ekosistem perairan karena makrozoobentos menyediakan “bahan makanan”
bagi organisme lain. Makrozoobentos berperan merombak daun, ranting, bunga,
kulit batang, dan akar tanaman (sebagai dekomposer). Makrozoobentos di suatu
perairan dapat dijadikan indikator kualitas dari lingkungan perairan karena
dapat mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan termasuk tingkat
pencemaran lingkungan dari waktu ke waktu.
I.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat
diidentifikasi dalam praktikum ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui tingkat
pencemaran suatu perairan
b. Mengetahui
organisme indikator perairan tercemar (makrozoobentos)
I.3 Tujuan Praktikum
Tujuan yang ingin dicapai dalam
praktikum ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui tingkat
pencemaran suatu perairan
b. Mengetahui
organisme indikator perairan tercemar (makrozoobentos).
I.4 Manfaat Praktikum
Praktikum ini bermanfaat dalam
mengetahui tingkat pencemaran sungai Kebun Biologi FMIPA UM dan
organisme-organisme indikator pada sungai (makrozoobentos).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Definisi Makrozoobenthos
Secara
etimologi makrozoobentos bebrasal dari dua kata yaitu makro dan zoobentos yang
berarti hewan dasar yang berukuran besar (Barnes, 1994). Kelompok hewan-hewan
tersebut antara lain asteroid (bintang laut), echinoidea (bulu babi),
holthutroidea (teripang), dan gastropoda (keong).Bentos adalah organisasi flora
dan fauna atau jasad nabati yang hidup mendiami dasar suatu perairan. Fauna
benntos adalah organisasi yang hidup meletakkan diri pada suatu perairan (Odum,
1996). Menurut Nybakken (1992), fauna bentos di bagi menjadi dua bagian, yaitu
epifauna dan infauna. Epifauna adalah organisme bentik yang hidup pada atau
bergerak melalui permukaan substrat atau organism bentik yang hidup pada
permukaan dasar laut. Sedangkan infauna adalah organism bentik yang mempunyai
kebiasaan hidup membenamkan dirinya ke dalam dasar peraiaran, menggali saluran
atau membuat lubang di dasar perairan.Komunitas bentos dapat juga dibedakan
berdasarkan pergerakannya, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap (
bentos sesile ), dan hewan bentos
yang hidupnya berpindah-pindah ( motile
). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator
kondisi perairan ( Setyobudiandi, 1997 ).
Distribusi bentos dalam perairan
alam mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif.
Untuk distribusi kualitatif, keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi
gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona
litoral. Zona litoral mendukung banyaknya jumlah keanekaragaman fauna yang
lebih besar dari pada zona sublitoral dan profundal. Populasi litoral dan sub
litoral, khusunya bentuk mikroskopis. Terdapat banyak serangga dan moluska, dua
kelompok ini biasannya sebanyak 70 % atau lebih dari jumlah komponen spesies
yang ada. Dengan peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah
spesies bentik biasanya berkurang.
Pengkajian kualitas perairan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air
serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa fisika dan kimia
air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat
memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran
nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow
(1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis,
analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
Makrozoobentos mempunyai peranan
yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all.
(1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan
sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari
alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi,Keberadaan hewan bentos pada
suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik
maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen,
yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik
adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO),
kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N),
kedalaman air, dan substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
Organisme yang termasuk
makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta,
Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai
fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari
padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian
yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan
pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari
daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993)
Sebagai organisme dasar perairan,
bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian,
perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan
makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap
perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan
kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam
lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif
tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975)
mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap
pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan
toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang
dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan
yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan
mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat
bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila
dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan
hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir
tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan
berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang
sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme
tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya
dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme
intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
II.2 Faktor Yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
Struktur
komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik.
Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos
adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya
yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia
seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien.
Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus
hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979).
Secara skematis, Hawkes (1978) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi
keberadaan hewan bentos di perairan sembilan diantaranya merupakan faktor
penentu kualitas perairan.
Faktor
penentu kualitas air
Faktor bukan
penentu kualitas air
Faktor yang
tidak umum
Faktor
langsung
Faktor
interaksi
Cahaya matahari merupakan sumber
panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan
air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam,
penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar
perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan
dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas
serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya
peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan
organisme perairan.
Oksigen terlarut sangat penting bagi
pernafasan zoobentos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993).
Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan
oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies
biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi
oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi
lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran
toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja. Berdasarkan
kandungan oksigen terlarut (DO), Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas
perairan atas empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5
– 6,5 mg/l), tercemar sedang (2,0 – 4,4 mg/l) dan tercemar berat
(<1),>2,0).
Beberapa organisme makrozoobentos
sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat
memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia
(Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran
organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah
dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan
yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam
Rosenberg dan Resh, 1993). Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok
dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar
(Hawkes, 1978).
II.3 Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan
Penggunaan
makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk
indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa
terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar.
Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di
perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan
ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan
karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan
(Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Metode
kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem
saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik
berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa
sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap
pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos
tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin
dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau
kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik,
maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode
pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan
terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi
dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model yang
umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman
populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).
Keragaman jenis disebut juga
keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur
komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan
sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang
melimpah.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Tempat
Dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Sungai Kebun Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang pada tanggal 16
Februari 2017.
3.2. Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang di gunakan dalam
rencana penelitian ini dapat di lihat pada table berikut.
Tabel.1 Alat yang di gunakan dalam penelitian
NO
|
ALAT
|
KEGUNAAN
|
1
|
Turbidimeter
|
Alat untuk
mengukur suhu, pH, salinitas
|
2
|
DO meter
|
Untuk
mengukur oksigen terlarut
|
3
|
Nampan
|
Untuk meletakan sampel hasil saringan
|
4
|
Tabel skoring
|
Untuk acuan sample
|
5
|
Karet Gelang
|
Untuk mengikat plastik
|
6
|
Alat tulis
menulis
|
Mencatat
hasil data ang di peroleh
|
7
|
Plastic
|
Wadah
pengambilan sampel
|
8
|
Cawan petri
|
Tempat wadah sampel yang akan diamati
|
9
|
Pinset
|
Mengambil sample
|
10
|
Jaring Surber
|
Menangkap benthos
|
3.3 Prosedur Praktikum
A. Teknik
pengambilan data
Teknik yang di gunakan dalam
pengambilan data ini adalah menggunakan metode langsung ke lapangan.
pengambilan data terdiri dari 3 stasiun yaitu Sungai Kebun
Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.
Pengambilan jenis.setiap jenis
makrozoobentos yang terliput di dalam kuadrat pengambilan dan di masukan
kedalam kantong plastic atau kantong sampel yang telah di
beri label. setelah itu jenis- jenis makrozoobentos yang dapat di bersihkan
kemudian di identitikasi setiap individu.
B. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan di
lakukan pada saat pengambilan sampel yaitu berupa: suhu perairan, salinitas
perariran, PH air PH tanah.
1.
Suhu Perairan
2.
Suhu
3.
Turbiditas
4.
pH Air
5.
Kadar O2
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel Data Pengamatan Keanekaragaman Makrozoobentos Sungai Kebun Biologi
FMIPA UM
A. Stasiun 1
No.
|
Spesies
|
Jumlah
|
Pi
|
inPi
|
-(PilnPi)
|
1.
|
Larva merutu biasa
|
114
|
0.912
|
-0.092
|
0.084
|
2.
|
Cacing bersegmen
|
10
|
0.080
|
-2.526
|
0.202
|
3.
|
Siput berpintu
|
1
|
0.008
|
-4.828
|
0.039
|
Jumlah
|
125
|
0.1
|
-7.446
|
0.325
|
Pengukuran faktor abiotik pada perairan
stasiun 1
Suhu = 250C
pH = 7,55
O2 terlarut = 4,2 %
Salinitas = 0%
B. Stasiun 2

Faktor abiotik di Stasiun 2 :
pH : 7,63
Suhu : 250C
Turbiditas : 4 angle
Kadar O2 : 4,5%
C. Stasiun 3
No.
|
Nama
Taksa
|
∑
/ Stasiun
|
||
1
|
2
|
3
|
||
1.
|
Larva
mrutu biasa
|
271
|
||
2.
|
Larva
kumbang
|
3
|
||
3.
|
Larva
nyamuk
|
124
|
Factor
Abiotik Stasiun 3
-
Kelarutan O2
dalam air = 2,1 mg/l
-
pH = 7,56
-
Suhu = 25,9 ᵒC
BAB V
ANALISIS DATA
A. Stasiun
1 (Kelompok 2)
No.
|
Spesies
|
Jumlah
|
Pi
|
inPi
|
-(PilnPi)
|
1.
|
Larva merutu biasa
|
114
|
0.912
|
-0.092
|
0.084
|
2.
|
Cacing bersegmen
|
10
|
0.080
|
-2.526
|
0.202
|
3.
|
Siput berpintu
|
1
|
0.008
|
-4.828
|
0.039
|
Jumlah
|
125
|
0.1
|
-7.446
|
0.325
|
S= Jumlah spesies= 3

Keberagaman (H’)


Kemerataan (E)




Kekayaan (R)


Dari hasil pengamatan
makrozoobentos yang dilakukan pada stasiun 1 diperoleh sebanyak 3 macam spesies
antara lain larva merutu biasa sebesar 114 speseies, cacing bersegmen sebanyak
10 spesies, dan siput berpintu hanya 1
spesies. Kemudian dari hasil tersebut diperoleh perhitungan yaitu hasil indeks
keberagaman sebesar 0.325, indeks kemerataan sebesar 0.296 dan indeks kekayaan
sebesar 0.414. Pengukuran faktor abiotic lingkungan di stasiun 1 baik kimia
maupun fisika diperoleh hasil, suhu sebesar 25,6°C, derajat keasaman (pH)
sebesar 7.55, konsentrasi O2 terlarut sebesar 4.2% dan tingkat
salinitas 0%.
B. Stasiun 2 (Kelompok 4)
No.
|
Spesies
|
∑
|
Pi
|
Ln
Pi
|
-Pi.ln
Pi
|
1
|
Kepiting
Sungai
|
7
|
0,016
|
-4,135
|
0,066
|
2
|
Larva
Mrutu biasa
|
417
|
0,974
|
-0,026
|
0,025
|
3
|
Siput
Kolam
|
1
|
0,002
|
-6,215
|
0,012
|
4
|
Cacing
|
3
|
0,007
|
-4,962
|
0,035
|
Jumlah
|
428
|
0,138
|
H’
= (∑ Pi. ln Pi)
= 0,138
E=


R=
= 0,495

Pada stasiun 2 sungai kebun Biologi FMIPA UM diperoleh
hasil pegambilan makrozoobentos berupa kepiting sungai sejumlah 4 pada ulangan
kiri dan 3 pada ulangan kanan, larva mrutu biasa sejumlah 127 pada ulangan
kiri, 138 pada ulangan tengah dan 152 pada ulangan kanan, siput kolam (siput
berpintu) sejumlah 1 pada ulangan kanan, dan cacing sejumlah satu pada ulangan
tengah dan 2 pada ulangan kanan.
Faktor abiotik stasiun 2 sungai kebun Biologi FMIPA UM
diukur dengan pH meter, Dometer dan turbidimeter diperoleh hasil pH sebesar
7,63, suhu sebesar 250C, turbiditas sebesar 4 angle, dan kadar O2
sebesar 4,5%. Berdasarkan hasil
pengukuran faktor abiotik, sungai ini tergolong kedalam sungai kotor atau
tercemar.
Keberadaan 4 makrozoobenthos diatas
dipengaruhi oleh beberapa factor abiotik. Keadaan factor abiotik di stasiun 2
yaitu kadar pH nya 7,63, suhu 25ο, turbiditas 4 angle dan kadar O2
yang terlarut dalam sungai 4,5 %.
C. Stasiun 3
No.
|
Spesies
|
∑
|
Pi
|
lnPi
|
-PilnPi
|
1.
|
Larva
mutu biasa
|
271
|
0,544
|
-0,609
|
0,331
|
2.
|
Larva
kumbang
|
3
|
0,006
|
-5,116
|
0,031
|
3.
|
Larva
nyamuk
|
124
|
0,249
|
-1,390
|
0,346
|
Jumlah
|
498
|
0,708
|
Ket: pi =
jumlah individu spesies per jumlah total individu spesies
s =
jumlah spesies yang ditemukan dalam satu stasiun
x =
jumah total individu spesies
N =
jumah total individu spesies (x)
H’
= - pi ln pi
= - 1 (-0,708)
= 0,708
E = H’/ln s
= 0,708/ln 3
= 0,708/1,099
= 0,644
R = s-1/ln N
=3-1/ln 498
= 2/6,211
= 0,322
Analisis data pada
praktikum ini dilakukan dengan perhitungan tingkat keragaman, kemerataan dan
kekayaan spesies yang terdapat dalam suatu perairan, dalam hal ini adalah
perairan sungai di kebun Biologi FMIPA UM. Makrozoobentos dalam tabel ditemukan
tiap stasiun pengambilan sampel. Pada masing-masing sampel akan dihitung
keragaman, kemerataan dan kekayaan spesiesnya. Keragaman (H’) dihitung
menggunakan rumus H’ = - y ln y; kemerataan (E) digunakan rumus E = H’/ln s;
dan kekayaan (R) digunakan rumus R= s-1/ln N.
BAB VI
PEMBAHASAN
Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi
dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan
lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Menurut
Susanto (2000) ekosistem adalah suatu unit lingkungan hidup yang didalamnya
terdapat hubungan fungsional yang sistematik antara sesama makhluk hidup dan
antara makhluk hidup dengan komponen lingkungan abiotik. Pada praktikum ini ekosistem yang menjadi objek adalah
sungai Kebun Biologi FMIPA UM. Pada ekosistem ini diamati faktor biotik dan
faktor abiotik yang menyusunnya serta keanekaragaman bentos pada sungai.
Bentos
sering diisebut sebagai organisme-organisme yang hidup pada dasar perairan,
Menurut Odum (1993) bentos adalah organisme yang melekat atau beristirahat pada
dasar atau hidup di dasar endapan. Berdasarkan ukurannya, hewan bentos yang
tersaring dengan saringan bentos berukuran 0,5 mm disebut makrobentos
(Setyobudiandi, 1997). Zoobentos
adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar
endapan (Odum, 1993). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan
karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder,
detritivor, scavenger dan parasit. Makrobentos merupakan salah satu kelompok
penting dalam ekosistem perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension
feeder, pemakan detritus, karnivor atau sebagai pemakan plankton.
Berdasarkan
cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2.
a.
Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.
b.
Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.
Kelompok
pemakan bahan tersuspensi umumnya tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya
moluska-bivalva, beberapa jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan
deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.
A. Stasiun 1
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik
digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan
limbah yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos
yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan
perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos (Pradinda, 2008).
Temperatur
Air
Berdasarkan hasil
pengamatan pada stasiun 1 diperoleh suhu perairan sebesar 25.6
,
suhu tersebut tergolong suhu normal suatu perairan, dimana masih sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangan dari makrozoobentos. Pengukuran temperatur air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan
berbagai jenis gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem
akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan
temperatur sebesar 10
(hanya pada kisaran temperatur yang masih
ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali
lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara
sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh
vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Barus, 2004).


Temperatur air pada
suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi
makrozoobentos. Pada umumnya temperatur di atas
dapat
menekan populasi makroinvertebrata air (Odum, 1971). Welch (1980) menyatakan
bahwa hewan makrozoobentos pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap
temperatur tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus hidup
sehingga lebih cepat dewasa. James dan Evison (1979) menyatakan bahwa
temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen yang
menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena
rendahnya kadar oksigen terlarut.

DO
(Disolved Oxygen)
Berdasarkan hasil
pengamatan pada stasiun 1 diperoleh kadar oksigen terlarut dalam air sebesar
4.2%. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan
oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum
oksigen di dalam air pada temperatur 0
sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan
menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004),
nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan
biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di
perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin
tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Sehigga dapat disimpulkan bahwa
kadar okigen pada stasiun 1 kurang baik, yang menyebabkan banyaknya jumlah makrozoobentos
yang hidup dengan kadar oksigen rendah.

pH
(Derajat Keasaman)
Hasil pengukuran
derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter dan didapatkan
hasil sebesar 7.55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air pada stasiun 1
bersifat basa lemah karena pH lebih dari 7. Kandungan pH dalam suatu perairan
dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air.
Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup
organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch,
1952).Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik
pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Hasil pengukuran pH air stasiun 1
sebesar 7,55 menunjukan kondisi perairan yang masih ideal untuk pertumbuhan dan
perkembangan dari makrozoobentos(Barus, 2004).
Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran
organisme benthos baik secara horizintal, maupun vertikal. Secara tidak
langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem.
(Odum, 1971). Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk
bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang
bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung
lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang
masih mampumendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos
adalah 15 - 35‰. Sedangkan pada stsiun 3 diperoleh data salinitas perairan
tersebut sebesar 0%, yang mengindikasikan kadar garam pada perairan tersebut
sangat rendah.
Indek
keanekaragaman
Indek keanekaragaman
jenismakrozoobentos pada perairan stasiun 1 adalah 0,325. Menurut Shannon
Weiner dalam Odum (1971) jika H’ < 1 = indeks keanekaragamannya rendah,
artinya keragaman yang rendah dengan sebaran individu yang tidak merata,
Berdasarkan data diatas menyatakan bahwa indeks keanekaragaman jenis Benthos
sebarannya tidak merata(keragamannya rendah) berarti lingkungan perairan
tersebut telah mengalami gangguan(tekanan)yang cukup besar,atau struktur
komunitas organismenya tidak terlalu baik.Dari perhitungan di atas terlihat
bahwa indeks keanekaragaman jenis ini memperhitungkan banyaknya jenis dan
banyaknya individu yang mengindikasikan penyebaran dari individu pada
masing-masing jenis. Semakin kaya jenis makrozoobentos yang ditemukan, maka
perairannya semakin baik. Akan tetapi sebaran individu di stasiun 1 tidak
merata,keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak baik seperti
kdar oksigen yang rendah membuat kondisi keragaman jenis rendah,dipengaruhi
adanya pergantian musim dapat mempengaruhi keragaman jenis dan kondisi makanan
juga sangat berperan berpengaruhnya keragaman jenis benthos.
Indeks
Kemerataan (E)
Dari perhitungan yang ada diperoleh
nilai indeks kemerataan
pada stasiun 1 sebesar 0. 296. Nilai
indeks kemerataan jenis
dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas.
Nilai indeks kemerataan (E) berkisar
antara 0-1. Semakin kecil
nilai E atau
mendekati nol, maka
semakin tidak merata penyebaran organismee
dalam komunitas tersebut
yang didominansi oleh jenis
tertentu dan sebaliknya
semakin besar nilai
E atau mendekati
satu, maka organisme dalam
komunitas akan menyebar
secara merata (Krebs, 1989). Berdasarkan pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa indeks kemerataan di stasiun 1 berada pada kondisi
tertekan atau tidak seimbang, pernyataan tersebut didasarkanpada tabel kondisi
suatu komunitas perairan berdasarkan nilai
indeks kemerataan menurut Krebs (1989) bahwa nilai indeks kemerataan
sebesar 0,00 < E 0,50 berada dalam
kondisi tertekan atau tidak stabil dimana terjadi persaingan baik pada tempat
tinggal maupun makanan.
Indeks
Kekayaan
Indeks kekayaan yang diperoleh pada
stasiun 1 sebesar
.
Dimana Indeks kekayaan (R), yaitu jumlah total spesies dalam satu
komunitas. Sejumlah indeks diusulkan untuk menghitung kekayaan
spesies yang tergantung pada ukuran
sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan jumlah total individu yang
diobservasi (n)yang meningkat dengan
meningkatnya ukuran sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekayaan spesies di
komunitas pada stasiun 1 sangat rendah (Odum, 1971).

B. Stasiun 2
Sungai merupakan suatu bentuk ekositem
aquatic yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai
daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehingga
kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh
lingkungan disekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai
komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan
fungsional yang saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan
terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan
mendukung stabilitas ekosisten tersebut (Suwondo,2004).
Ekosistem
sungai mempunyai sifat aliran yang unidirectional yaitu mengalir satu arah dari
hulu menuju hilir. Berdasar sifat fisikanya biota yang dominan hidup di
ekosistem sungai adalah organisme heterotrof, artinya tidak dapat membuat
makanan sendiri, yaitu makroinvertebrata bentik. Fauna tersebut umumnya hidup
di dasar perairan. Setelah itu ikan, alga, bentik dan macrofita. Tentu saja
selain biota tersebut masih ditemukan flora fauna yang ditemukan di ekosistem
sungai, misalnya makrofita (Sudarjanti, dan Wijarni, 2006).
Diantara benthos yang relatif mudah
diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah
jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih
dikenal dengan makrozoobenthos (Rosenberg, 1993).
Pada
praktikum bioindikator perairan, data yang kami dapatkan yaitu beberapa
makroozobenthos pada 3 stasiun. Pada stasiun 2, praktikan menemukan
makroozobenthos kepiting sungai, larva mrutu biasa, siput kolam dan cacing.
Kepiting sungai ditemukan berjumlah 7 ekor, larva mrutu biasa 417 ekor, siput
kolam 1 ekor dan cacing 3 ekor. Dan setelah dilakukan perhitungan di dapat
nilai H’ sebesar 0,138, E nya 0,01, dan nilai R sebesar 0,495.
Keanekaragaman
makroozobenthos dapat dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener yang diperoleh dengan parameter kekayaan jenis dan proporsi
kelimpahan masing-masing jenis di suatu habitat. Indeks ini didasarkan pada
teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata yang tidak pasti dalam
memprediksi individu species apa yang dipilih secara random dari koleksi S
species dan individual N akan dimiliki. Rata-rata ini naik dengan naiknya
jumlah species dan distribusi individu antara species-species
menjadisama/merata.
Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks
Shanon yaitu:
- H’=0 jika dan hanya jika ada satu species dalam sampel.
- H’ adalah maksimum hanya ketika semua species S diwakili oleh jumlahindividu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secarasempurna.
Setelah
dilakukan perhitungan di dapat nilai H’ sebesar 0,138, E nya 0,01, dan nilai R
sebesar 0,495. Nilai H’ menunjukkan
bahwa species yang ditemukan pada sampel air lebih dari 1. Nilai H’ menunjukkan
kestabilan pada stasiun 2 masih belum stabil karena distribusi nya belum
sempurna, larva mrutu sangat mendominasi stasiun 2. Kestabilan suatu jenis juga
dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin tinggi nilai H’, maka
keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin stabil. Sebaliknya
semakin rendah nilai H’, maka tingkat kestabilan keanekaragaman jenis dalam
komunitas semakin rendah (Odum, 1996).
Indeks
keanekaragaman jenis (H’) menggambarkan tingkat kestabilan suatu komunitas
tegakan. Semakin tinggi nilai H’, maka komunitas vegetasi hutan tersebut
semakin tinggi tingkat kestabilannya. Suatu komunitas yang memiliki nilai H’
< 1 dikatakan komunitas kurang stabil, jika nilai H’ antara 1-2 dikatakan
komunitas stabil, dan jika nilai H’ > 2 dikatakan komunitas sangat stabil
(Kent & Paddy, 1992).
Suatu
jenis yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih
besar untuk mempertahankan kelestarian jenisnya. Untuk menilai kemantapan atau
kestabilan jenis dalam suatu komunitas dapat digunakan nilai indeks kemerataan
jenis (e’). Nilai e’ yang dihasilkan pada stasiun 2 yaitu 0,01. Nilai ini mengindikasilan bahwa kemeratan
yang terjadi pada stasiun 2 tergolong rendah. Hal ini selaras dengan pernyataan
Magurran (1988) bahwa Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis
tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ >
0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Semakin tinggi nilai e’, maka
keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin stabil dan semakin rendah nilai
e’, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin
rendah (Soerianegara & Indrawan, 1976; Odum, 1993).
Pada praktikum di stasiun 2 juga
menghasilkan nilai R sebesar 0,495. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis
yang terdapat pada stasiun 2 tergolong rendah. Berdasarkan Magurran (1988)
besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R1 = 3.5
– 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika
> 5.0.
Keberadaan makrozoobenthos yang
ditemukan diatas dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik. Keadaan faktor
abiotik di stasiun 2 yaitu kadar pH nya 7,63, suhu 25ο, turbiditas 4
angle dan kadar O2 yang terlarut dalam sungai 4,5 %. pH yang
dihasilkan menunjukkan keadaan air masih tergolong normal sehingga memungkinkan
makrozobenthos untuk hidup. Menurut
Modereth et al dalam Effendi ( 2003), bahwa pH juga berkaitan erat dengan
karbondioksida dan alkalinitas, pada pH < 5 alkalinitas dapat mencapai “ nol
“. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin
rendah kadar karbondioksida bebas terlarut yang bersifat asam ( pH rendah )
bersifat korosif. Selain itu semakin tinggi nilai pH
akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dengan amonia. Semakin bergeser
kearah amonia berarti kenaikan pH akan meningkatkan konsentrasi amonia yang
diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air (Effendi, 2003).
Keadaan suhu di perairan berkaitan dengan kadar O2
yang terlarut di dalamnya. Hubungan
antar kadar oksigen terlarut dan suhu menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu,
maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang (Effendi, 2003 ). Sedangkan hasil
turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan air. Padatan yang tersuspensi dalam
air berkolerasi positif dengan kekeruhan semakin tinggi. Akan tetapi tingginya
padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan misalnya air
memiliki nilai kepadatan terlalu tinggi, tapi tidak berarti memiliki kekeruhan
yang tinggi ( Effendi, 2003).
C.
Stasiun 3
Praktikum kali
ini mengenai makrozoobentos, dilakukan di Sungai Kebun Biologi bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dan faktor pembatas bentos berdasarkan keanekaragaman, kondisi,
dan parameter lingkungan fisika dan kimia di Sungai Kebun Biologi. Bentos
merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator
perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan Hills, 1979).Faktor
fisik berupa temperatur, kecerahan, kekeruhan dan konduktivitas air. Faktor
kimia meliputi Derajat Keasaman (pH) dalam air, faktor fisik dan kimia tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi hasil penelitian keberadaan bentos
di perairan Sungai Kebun Biologi.
Hasil pengukuran faktor kimia pada
stasiun 3 yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter dan
didapatkan hasil sebesar 7,56. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air Sungai
Kebun Biologi bersifat netral. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat
berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. ).Perairan yang memiliki kadar pH ideal
bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5.
Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup
organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952)
Pengamatan selanjutnya yaitu pada
faktor fisik perairan Sungai Kebun Biologi, yang pertama adalah temperatur air.
Hasil pengukuran temperatur air dilakukan dengan menggunakan pH meter
didapatkan hasil 25,9 °C. Kondisi temperatur air Sungai Kebun
Biologi menunjukkan kisaran suhu yang normal.Kelarutan oksigen dalam air
diukur menggunakan DO meter dan menunjukkan angka 2,1 mg/l. Tinggi rendahnya
nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme
air termasuk bentos. Tingginya nilai temperatur dapat mempengaruhi jumlah,
jenis, dan persebaran bentos dalam suatu ekosistem.Peningkatan suhu akan menyebabkan
konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam
air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air
dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2004).
Sampel diambil menggunakan jaring surber, kemudian
diidentifikasi di ruang ekologi gedung O5 Biologi. Berdasarkan hasil penelitian
di stasiun 3, ditemukan hasil 3 jenis
bentos antara lain larva
mrutu biasa, larva kumbang, dan larva nyamuk. Perhitungan
menggunakan berbagai indeks keanekaragaman dan kemerataan didapatkan hasil
sebagai berikut. Indeks keanekaragaman (H) menunjukkan angka 0,708. Indeks
kekayaan (R) menunjukkan angka 0,644. Indeks kelimpahan menunjukkan angka
0,322. Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat diketahui bahwa
kualitas perairan Sungai Kebun Biologi tergolong buruk (0,81-1,60). Terbukti
dengan ditemukannya banyak sampah dan kotoran pada saat pengamatan. Sampah yang
terbawa arus sungai dapat menyebabkan kekeruhan sungai meningkat dan akan
mengganggu kehidupan organisme bentos yang ada. Selain sampah, juga ditemukan
batuan yang berlumut sehingga membuat sungai semakin tercemar.
BAB VII
PENUTUP
VII.1 Simpulan
1. Faktor yang mempengaruhi kelimpahan
bentos di suatu perairan adalah suhu, pH, dan kadar oksigen terlarut.
2. Jenis bentos yang di temukan
di setiap titik pengamatan di sungai Kebun Biologi adalah jenis larva mrutu biasa, larva kumbang, siput berpintu, cacing bersegmen, kepiting sungai, cacing dan larva
nyamuk.
3. Kualitas air di perairan
sungai Kebun Biologi termasuk tercemar dalam kategori kotor.
VII.2 Saran
Untuk kedepanya dapat dilakukan penelitian ulang mengenai makrozoobenthos
di aliran sungai Kebun Biologi yang dapat digunakan untuk restorasi dan
perbaikan kualitas sungai.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan
Perlakuan pupuk. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan
Jakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air
Daratan. Medan: USU Press.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound Fourth Printing. Alabama: Auburn University
Agricultural Experiment Station.
Darojah,
Yuyun. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan
Rawapening Kabupaten Semarang.
Semarang.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Dayadan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta :
Kanusius.
Evans S M and Hutabarat
S. 1985. Pengantar Oseanografi.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Evison L and James A .
1979. Biological Indications of Water
Quality. New York: John Wiley &Sons Chichester,.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanusius.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di
Hutan.Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas, (7):
67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture.
Fishing News Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Isnaeni,
W. 2002. Fisiologi Hewan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Krebs, C.J. 1989. Ecologycal Metodology. Columbia:
University of British.
Odum,
E.P. Dasar-dasar Ekologi. Dialihbahasakan
oleh Tjahjono Samingan 1993. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder
Com. Philadelphia 125 pp.
Pradinda, A. 2008. Kajian Kualitas Perairan Menggunakan
Bioindikator Makrozoobentos di Eustaria Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian
Propinsi Banten. Jakarta: Trysakti University.
Pratiwi,
N, Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R. Ubaidillah, & W. A. Noerdjito.
2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Setyobudiandi,
I. 1997 . Makrozoobentos. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Sinaga,
Tiorinse. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir.
Susanto,
P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Suwondo,
Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan Sungai
Senapelan, Sago dan Sail di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator Plankton
dan Bentos. Jurnal Biogenesis. 1(1):15-20
Welch, P. S. 1952. Limnology.
McGraw-Hill Book Company. New York.
LAMPIRAN







thanks for this information
ReplyDelete